ASPEK POLITIS DALAM PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH
Published on Jumat, 11 Oktober 2013
09.03 //
Sikda
Aspek politis dalam pengembangan sistem informasi kesehatan daerah
(SIKDA) merupakan judul yang dipilih oleh penulis untuk menyelesaikan
tugas terkait dengan matakuliah SIKDA. Penulis bukanlah orang berasal
dari instansi yang terkait dengan penerapan SIKDA dan juga bukan orang
yang memonitor secara langsung kegiatan SIKDA, tetapi ini merupakan
tantangan bagi penulis untuk mencoba bercerita tentang aspek politis
dalam pengembangan SIKDA.
Menurut Badudu (1996), Aspek politis diartikan bersifat politis. Artinya segala macam urusan ketatanegaraan yang menyangkut peraturan pemerintahan yang didalamnya termasuk sistem, kebijakan, serta siasat baik terhadap urusan dalam negeri maupun luar negeri, selain itu politis dapat diartikan sebagai akal, siasat tipu muslihat. Dari pengertian di atas, hubungannya dengan aspek politis terkait SIKDA yaitu segala urusan yang menyangkut tentang peraturan pemerintah (sistem, kebijakan, dan siasat/ strategi) yang berhubungan dengan SIKDA.
Aspek politis penerapan SIKDA dilihat dari sudut pandang yang terkait dengan perubahan sistem dan terkait dengan kebijakan pemerintah pusat. Informasi merupakan hal yang harus selalu bersifat terkini. Sekarang ini dikembangkan peraturan bahwa informasi bersifat evidence base (berbasis pada fakta dan data di lapangan). Salah satu yang terkait dengan pembuatan informasi diantaranya SIKDA. SIKDA mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, merupakan jaringan sistem informasi dari kabupaten/ kota, di atasnya ada level provinsi dan paling atas di level pemerintahan pusat. Secara teori, kabupaten/ kota harus mengirimkan data ke dinas provinsi. Seluruh level provinsi yang ada di Indonesia berkewajiban untuk mengirimkan informasi kesehatan setiap daerah kepada pemerintah pusat. Terbayang dalam pikiran kita bagaimana mengumpulkan data secara manual dari seluruh kabupaten/ kota di Indonesia. Dalam perkembangannya pemerintah pusat membuat kebijakan untuk pengiriman informasi secara komputerisasi. Diharapkan dengan adanya sistem ini akan mempercepat proses sehingga informasi yang dihasilkan merupakan informasi yang bersifat terkini. Adanya kebijakan tersebut kemudian banyak terlihat di beberapa dinas berlomba-lomba dalam rangka pengadaan komputer dan memasang tower untuk kebutuhan internet. Akhirnya bermunculan projek-projek di puskesmas dan dinas kesehatan untuk melakukan towerisasi. Beberapa dilema bermunculan terkait penerapa sistem komputerisasi untuk SIKDA diantaranya sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk penerapan SIKDA akan jauh lebih berkurang dari pada menggunakan sistem yang manual. Selain itu munculnya kebutuhan sumber daya manusia dengan kualifikasi yang telah tersedia sebelumnya, yaitu sarjana komputer. Dari sini terdapat lagi dilema untuk pimpinan dilain sisi kekurang sumber daya manusia disisi lain akan meniadakan tugas dari sumber daya manusia yang sudah ada.
Perubahan sistem yang kedua terkait dengan pemanfaat teknologi untuk proses pembuatan informasi ini. Aspek teknologi yang terlihat misalnya dengan pemanfaatan produk komputer dalam pembuatan SIKDA. Maraknya teknologi yang dapat digunakan dalam pengolahan data menjadi informasi mengakibatkan majunya bisnis perangkat komputer meliputi softwere (pembuatan program) dan hardwere (perangkat keras komputer). Terutama softwere banyak bermunculan bisnis jasa yang menyediakan pembuatan program. Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi pengangguran di masyarakat dan tingkat perdagangan meningkat.
Aspek politis penerapan SIKDA dilihat dari sudut pandang yang terkait dengan kebijakan pemerintah pusat yaitu bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjalankan pemerintahannya berdasarkan GBHN yang disahkan oleh DPR dan MPR. Contoh salah satu produk hukum yang dikeluarkan DPR adalah UUITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Tetapi ada yang kurang dalam penerapan UUITE tersebut, hal ini terlihat pada belum adanya peraturan terkait tentang bukti hukum dengan menggunakan data komputerisasi yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Dari penjabaran masalah di atas, aspek politis dari SIKDA secara lebih jelas terlihat pada bagan di bawah ini :
Menurut Badudu (1996), Aspek politis diartikan bersifat politis. Artinya segala macam urusan ketatanegaraan yang menyangkut peraturan pemerintahan yang didalamnya termasuk sistem, kebijakan, serta siasat baik terhadap urusan dalam negeri maupun luar negeri, selain itu politis dapat diartikan sebagai akal, siasat tipu muslihat. Dari pengertian di atas, hubungannya dengan aspek politis terkait SIKDA yaitu segala urusan yang menyangkut tentang peraturan pemerintah (sistem, kebijakan, dan siasat/ strategi) yang berhubungan dengan SIKDA.
Aspek politis penerapan SIKDA dilihat dari sudut pandang yang terkait dengan perubahan sistem dan terkait dengan kebijakan pemerintah pusat. Informasi merupakan hal yang harus selalu bersifat terkini. Sekarang ini dikembangkan peraturan bahwa informasi bersifat evidence base (berbasis pada fakta dan data di lapangan). Salah satu yang terkait dengan pembuatan informasi diantaranya SIKDA. SIKDA mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, merupakan jaringan sistem informasi dari kabupaten/ kota, di atasnya ada level provinsi dan paling atas di level pemerintahan pusat. Secara teori, kabupaten/ kota harus mengirimkan data ke dinas provinsi. Seluruh level provinsi yang ada di Indonesia berkewajiban untuk mengirimkan informasi kesehatan setiap daerah kepada pemerintah pusat. Terbayang dalam pikiran kita bagaimana mengumpulkan data secara manual dari seluruh kabupaten/ kota di Indonesia. Dalam perkembangannya pemerintah pusat membuat kebijakan untuk pengiriman informasi secara komputerisasi. Diharapkan dengan adanya sistem ini akan mempercepat proses sehingga informasi yang dihasilkan merupakan informasi yang bersifat terkini. Adanya kebijakan tersebut kemudian banyak terlihat di beberapa dinas berlomba-lomba dalam rangka pengadaan komputer dan memasang tower untuk kebutuhan internet. Akhirnya bermunculan projek-projek di puskesmas dan dinas kesehatan untuk melakukan towerisasi. Beberapa dilema bermunculan terkait penerapa sistem komputerisasi untuk SIKDA diantaranya sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk penerapan SIKDA akan jauh lebih berkurang dari pada menggunakan sistem yang manual. Selain itu munculnya kebutuhan sumber daya manusia dengan kualifikasi yang telah tersedia sebelumnya, yaitu sarjana komputer. Dari sini terdapat lagi dilema untuk pimpinan dilain sisi kekurang sumber daya manusia disisi lain akan meniadakan tugas dari sumber daya manusia yang sudah ada.
Perubahan sistem yang kedua terkait dengan pemanfaat teknologi untuk proses pembuatan informasi ini. Aspek teknologi yang terlihat misalnya dengan pemanfaatan produk komputer dalam pembuatan SIKDA. Maraknya teknologi yang dapat digunakan dalam pengolahan data menjadi informasi mengakibatkan majunya bisnis perangkat komputer meliputi softwere (pembuatan program) dan hardwere (perangkat keras komputer). Terutama softwere banyak bermunculan bisnis jasa yang menyediakan pembuatan program. Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi pengangguran di masyarakat dan tingkat perdagangan meningkat.
Aspek politis penerapan SIKDA dilihat dari sudut pandang yang terkait dengan kebijakan pemerintah pusat yaitu bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjalankan pemerintahannya berdasarkan GBHN yang disahkan oleh DPR dan MPR. Contoh salah satu produk hukum yang dikeluarkan DPR adalah UUITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Tetapi ada yang kurang dalam penerapan UUITE tersebut, hal ini terlihat pada belum adanya peraturan terkait tentang bukti hukum dengan menggunakan data komputerisasi yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Dari penjabaran masalah di atas, aspek politis dari SIKDA secara lebih jelas terlihat pada bagan di bawah ini :
BAGAN
Bagan Kerangka Konsep Aspek Politis Perkembangan SIKDA
Menurut WHO (2000), sistem informasi kesehatan yang efektif
memberikan dukungan informasi bagi proses pengambilan keputusan disemua
jenjang. Sistem informasi ini harus dijadikan alat yang efektif bagi
manajemen. Dari dasar tersebut maka sangat diperlukan pembuatan sistem
informasi yang tepat dengan melibatkan semua aspek stakeholder, jika pun
ada aspek politis yang masuk, tetapi aspek ini harus benar-benar
berorientasi kepada masyarakat (kepentingan banyak orang).
Aspek politis pengembangan SIKDA terlihat jelas juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no.511 tahun 2002 tentang strategi pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS) di era otonomi daerah. Dalam peraturan tersebut disebutkan strategi pengembangan SIKNAS di era otomoni daerah, meliputi:
1. Intergrasi pencatatan dan pelaporan data
2. Pelaksanaan sistem pencatatan dan pelaporan yang baru
3. Fasilitas pengembangan SIKDA
4. Pengembangan teknologi dan sumberdaya
5. Pengembangan pelayanan untuk manajemen
6. Pengembangan pelayanan untuk masyarakat
Penerapan strategi pengembangan SIKDA di atas mengakibatkan keuntungan dan kerugian dalam organisasi. Strategi ke tiga menyediakan fasilitas pengembangan SIKDA, jika dilihat dari segi politis strategi ini dapat menimbulkan keuntungan pada beberapa pihak, terutama kepala bagian yang bertanggungjawab terhadap pengembangan fasilitas SIKDA. Situasi ini dapat menimbulkan kesempatan negatif dengan memproyekkan pengadaan fasilitas dari pemerintah pusat sampai dengan penyediaan fasilitas terkait dengan SIKDA di tingkat kabupaten/ kota. Kesempatan negatif tersebut adalah timbulnya anggapan bahwa kepala bagian pengembangan mendapatkan keuntungan yang lebih dari hasil proyek pengadaan fasilitas tersebut. Pada hal pengadaan fasilitas tersebut belum tentu dibutuhkan bahkan belum tentu juga dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan di kota tertentu. Akhirnya fasilitas tersebut hanya dibiarkan begitu saja di kantor bahkan ditumpuk begitu saja di gudang. Contoh nyata tentang pengadaan fasilitas ini terdapat pada projek pengadaan fasilitas internet yang didatangkan dari pemerintah pusat, tetapi akhirnya banyak yang tidak terpakai karena keadaan lingkungan yang tidak memungkinkan penerapan fasilitas tersebut. Sayangnya lagi karena keterbatasan dana maka fasilitas tersebut akan ditarik kembali. Situasi ini tentu menimbulkan banyak perdebatan bagi dinas kesehatan yang telah terlanjur kecanduan menggunakan fasilitas tersebut. Padahal dahulunya dinas tersebut menggunakan fasilitas tersebut karena ada sedikit paksaan dari pemerintah pusat untuk meningkatkan fasilitas pelayanannya dengan menggunakan fasilitas baru. Hal yang sama juga perlu diperhatikan dalam pengembangan SIKDA melalui strategi yang akan diterapkan.
Wacana lain yang muncul dari pengembangan SIKDA yaitu rencana pelayanan data dari satu pintu yang dilakukan oleh pusat data dan informasi (pusdatin). Jadi pusdatin dipusatkan sebagai pemberi informasi dari pihak mana saja yang membutuhkan informasi kesehatan. Perlu dipikirkan sebelum penerapa sistem tersebut sehinga rencana yang bagus tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Beberapa hal yang perlu disiapkan diantaranya kesiapan pusdatin sebagai pusat informasi harus benar-benar diperhitungkan sebelumnya. Sumber daya manusia yang harus ditingkatkan baik dari segi kemampuan dan perilaku kerjanya juga harus dipersiapkan. Hal ini dilakukan agar jangan sampai nantinya fasilitas lengkap sudah disediakan tetapi karena perilaku sumber daya manusia di pusdatin belum siap akibatnya pihak-pihak yang memang membutuhkan informasi malah tidak dapat mengakses informasi tersebut. Mamang konsep tersebut mamang ideal untuk diterapkan jika pusdatin benar-benar sudah siap sebagai pusat data dan informasi yang sesungguhnya. Banyak keuntungan yang akan di dapat dengan penerapan sistem baru tersebut yaitu komunikasi data yang terintegrasi, koordinasi data dilakukan dalam satu jalur, selain itu dengan penerapan sistem baru dapat meringkas birokrasi yang sudah ada. Pusdatin sebagai pusat data menimbulkan peluang yang menguntungkan bagi pusdatin tersebut, karena betapa tergantungnya pihak luar pada pustadin untuk dapat memperoleh data. Kesempatan lain yang muncul adalah adanya sumber pendapatan baru bagi pusdatin, sedangkan bagi lain yang dahulunya dapat “menjual” datanya dengan sistem yang baru mereka akan kehilangan kesempatan tersebut.
Terakhir dari tulisan ini adalah bahwa dalam pengembangan SIKDA memeng harus diperhitungkan lebih matang sehingga tujuan mulia yang memang menjadi keinginan banyak pihak tersebut dapat tercapai. Pempertimbangkan keuntungan dan kerugian sistem lama dan sistem baru yang akan diterapkan. Jangan sampai tujuan yang memang konsepnya baru oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab dimanfaatkan sebagai projek untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
Aspek politis pengembangan SIKDA terlihat jelas juga dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no.511 tahun 2002 tentang strategi pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS) di era otonomi daerah. Dalam peraturan tersebut disebutkan strategi pengembangan SIKNAS di era otomoni daerah, meliputi:
1. Intergrasi pencatatan dan pelaporan data
2. Pelaksanaan sistem pencatatan dan pelaporan yang baru
3. Fasilitas pengembangan SIKDA
4. Pengembangan teknologi dan sumberdaya
5. Pengembangan pelayanan untuk manajemen
6. Pengembangan pelayanan untuk masyarakat
Penerapan strategi pengembangan SIKDA di atas mengakibatkan keuntungan dan kerugian dalam organisasi. Strategi ke tiga menyediakan fasilitas pengembangan SIKDA, jika dilihat dari segi politis strategi ini dapat menimbulkan keuntungan pada beberapa pihak, terutama kepala bagian yang bertanggungjawab terhadap pengembangan fasilitas SIKDA. Situasi ini dapat menimbulkan kesempatan negatif dengan memproyekkan pengadaan fasilitas dari pemerintah pusat sampai dengan penyediaan fasilitas terkait dengan SIKDA di tingkat kabupaten/ kota. Kesempatan negatif tersebut adalah timbulnya anggapan bahwa kepala bagian pengembangan mendapatkan keuntungan yang lebih dari hasil proyek pengadaan fasilitas tersebut. Pada hal pengadaan fasilitas tersebut belum tentu dibutuhkan bahkan belum tentu juga dapat dimanfaatkan oleh dinas kesehatan di kota tertentu. Akhirnya fasilitas tersebut hanya dibiarkan begitu saja di kantor bahkan ditumpuk begitu saja di gudang. Contoh nyata tentang pengadaan fasilitas ini terdapat pada projek pengadaan fasilitas internet yang didatangkan dari pemerintah pusat, tetapi akhirnya banyak yang tidak terpakai karena keadaan lingkungan yang tidak memungkinkan penerapan fasilitas tersebut. Sayangnya lagi karena keterbatasan dana maka fasilitas tersebut akan ditarik kembali. Situasi ini tentu menimbulkan banyak perdebatan bagi dinas kesehatan yang telah terlanjur kecanduan menggunakan fasilitas tersebut. Padahal dahulunya dinas tersebut menggunakan fasilitas tersebut karena ada sedikit paksaan dari pemerintah pusat untuk meningkatkan fasilitas pelayanannya dengan menggunakan fasilitas baru. Hal yang sama juga perlu diperhatikan dalam pengembangan SIKDA melalui strategi yang akan diterapkan.
Wacana lain yang muncul dari pengembangan SIKDA yaitu rencana pelayanan data dari satu pintu yang dilakukan oleh pusat data dan informasi (pusdatin). Jadi pusdatin dipusatkan sebagai pemberi informasi dari pihak mana saja yang membutuhkan informasi kesehatan. Perlu dipikirkan sebelum penerapa sistem tersebut sehinga rencana yang bagus tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Beberapa hal yang perlu disiapkan diantaranya kesiapan pusdatin sebagai pusat informasi harus benar-benar diperhitungkan sebelumnya. Sumber daya manusia yang harus ditingkatkan baik dari segi kemampuan dan perilaku kerjanya juga harus dipersiapkan. Hal ini dilakukan agar jangan sampai nantinya fasilitas lengkap sudah disediakan tetapi karena perilaku sumber daya manusia di pusdatin belum siap akibatnya pihak-pihak yang memang membutuhkan informasi malah tidak dapat mengakses informasi tersebut. Mamang konsep tersebut mamang ideal untuk diterapkan jika pusdatin benar-benar sudah siap sebagai pusat data dan informasi yang sesungguhnya. Banyak keuntungan yang akan di dapat dengan penerapan sistem baru tersebut yaitu komunikasi data yang terintegrasi, koordinasi data dilakukan dalam satu jalur, selain itu dengan penerapan sistem baru dapat meringkas birokrasi yang sudah ada. Pusdatin sebagai pusat data menimbulkan peluang yang menguntungkan bagi pusdatin tersebut, karena betapa tergantungnya pihak luar pada pustadin untuk dapat memperoleh data. Kesempatan lain yang muncul adalah adanya sumber pendapatan baru bagi pusdatin, sedangkan bagi lain yang dahulunya dapat “menjual” datanya dengan sistem yang baru mereka akan kehilangan kesempatan tersebut.
Terakhir dari tulisan ini adalah bahwa dalam pengembangan SIKDA memeng harus diperhitungkan lebih matang sehingga tujuan mulia yang memang menjadi keinginan banyak pihak tersebut dapat tercapai. Pempertimbangkan keuntungan dan kerugian sistem lama dan sistem baru yang akan diterapkan. Jangan sampai tujuan yang memang konsepnya baru oleh pihak-pihak yang kurang bertanggungjawab dimanfaatkan sebagai projek untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri.
0 komentar